Thursday, January 8, 2009

Jogja Cyber Province; Riwayatmu Kini...

Jogja Cyber Province; Riwayatmu Kini…

Sebagai upaya untuk menciptakan layanan pemerintahan yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel, Pemerintah Propinsi DIY memiliki agenda besar E-government bernama Jogja Cyber Province (JCP). Menurut Gubernur Propinsi DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, JCP kurang lebih bermakna seabgai sebuah model propinsi yang mampu melakkan transformasi layanan yang berorientasi kepada masyarakat dengan memanfaatkan TI dan komunkasi untuk membangun suatu wilayah propinsi yang bardaya saing, nyaman, mandiri, efisien, dan efektif. JCP adalah visi masa depan DIY yang didorong teknologi informasi (ICT-Led Regional Socio Economic Development). Yakni model propinsi yang melakukan transformasi layanan yang berorientasi pelanggan (masyarakat) dengan berbasis pada proses bisnis, informasi dan pengetahuan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai akselerator pembangunan wilayah propinsi yang berdaya saing, nyaman, mandiri, efisien, dan efektif.
Sri Sultan menyadari DIY memiliki luas wilayah yang sempit dan sumber daya alam yang terbatas, juga tergolong wilayah yang padat. Bila dibandingkan dengan wilayah propinsi di sekitarnya, DIY boleh dibilang relatif terbelakang. Namun, Sri Sultan juga melihat DIY justru memiliki potensi sumber daya manusia yang bisa diandalkan. Tingkat pendidikan masyarakatnya tergolong lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Prasarana pendidikan , baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tersedia dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Tidak heran jika DIY telah lama dikenal sebagai Kota Pendidikan.
Oleh sebab itu, Sri Sultan merasa wajib mendorong tumbuhnya kreatifitas dan inovasi masyarakat DIY supaya meningkat daya saing dan kesejahteraannya di masa depan. Di situlah. ia melihat teknologi informasi (TI) menjadi berperan penting. Di satu sisi, TI mendukung terwujudnya warga Yogyakarta yang kompetitif. Sementara di sisi lain, TI mendukung kelancaran kerja internal pemerintahan daerah dalam meningkatkan mutu layanan publik.
Cetak biru JCP dirintis sejak November 2005. Memasuki 2006, pihak pemprop akan memulai dengan pilot-pilot project. Agenda JCP dijabarkan dalam empat area pengembangan. Pertama, mengembangkan DIY sebagai wilayah yang bisa diakses di manapun dalam hal informasi. Kedua, mengembangkan DIY sebagai salah satu pusat pengembangan industri information and communication technology (ICT). Ketiga, mengembangkan seluruh kegiatan DIY yang didukung oleh sistem berbasis ICT. Keempat, mengembangkan DIY sebagai wilayah unggulan pencetak tenaga kerja di bidang ICT.
Pada tingkat kebijakan, telah dikeluarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pemerintahan Secara Elektronik. Dari sisi kuantitatif, Inpres tersebut cukup ampuh dalam mendorong kebijakan E-Government di Pusat maupun di berbagai daerah. Namun, dari sisi kualitatif, inpres tersebut belum cukup memadai dalam upaya re-inventing government menuju pelayanan publik yang berkualitas dan responsif dengan preferensi lokal.
Dapat dikatakan E-Government adalah aplikasi teknologi informasi yang berbasis internet dan perangkat digital lainnya yang dikelola oleh pemerintah untuk keperluan penyampaian informasi dari pmerintah ke masyarakat, mitra bisnis, pegawai, badan usaha dan lembaga-lembaga lainnya secara online. Termasuk di dalamnya adalah situs-situs yang berisi informasi yang dimiliki oleh badan-badan pemerintah, wahana interaksi antar lembaga pemerintah (G2G), pemerintah dangan masyarakat (G2C) dan pemerintah dengan kalangan bisnis (G2B).
Melimpahnya dana untuk pembelian perangkat TIK dalam rangka inisiatif E-Government bukan satu-satunya faktor untuk mencapai kesuksesan dalam meningkatkan pelayanan public. TIK bukanlah pencipta momentum, melainkan hanya sebagai akselerator. Faktor-faktor tangiables dan intangiables dari keberadaan TIK dalam menunjang E-Government haruslah diperhitungkan, termasuk fleksibilitas dan preferensi masyarakat. Dengan demikian, fenomena E-Government di berbagai Pemda akan menemukan substansi fungsi yang sebenarnya yakni sebagai penunjang kualita pelayanan publik, dan bukan sekedar nice to have
Menurut Indrajit (2004), hampir setiap program atau proyek pengembangan layanan publik berbasis Teknilogi Informsi dan Komunikasi (TIK) melibatkan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai pihak yang bermitra dengan pemerintah. Konsorsium tersebut terdiri dari berbagai pihak yang tidak saja saling bekerjasama membangun aplikasi TIK, melainkan juga harus saling melengkapi agar program atau proyek tersebut dapat berkesinambungan untuk jangka waktu yang lama. Dalam program JCP, aktor yang diidealkan terlibat adalah diantaranya aktor adminitrasi publik Pemda sendiri, kalangan industri swasta, kalangan akademisi atau perguruan tinggi, dan terakhir masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana peran masyarakat dalam program tersebut? Apakah sekedar menjadi penonton dan objek program?
Menafsir ulang Good Governance
Tata pemerintahan yang baik (good governance ) merupakan konsep yang telah lama populer di negeri ini. Banyak kalangan telah membicarakan konsep tersebut, meski telah banyak pula yang tidak memahami atau bahkan mensalahartikan konsep terebut. Namun, ada keyakinan bersama bahwa good governance merupakan sbuah krangka baru pemerintahan (governance reform) di negeri ini sekaligus sebgai cita-cita ideal yang hendak dituju di masa depan.
Secara terminologis, sejumlah pihak menerjemahkan governance sebagai tata pemerintahan. Ada kecenderungan untuk menganggap governance sebagai sinonim dari government atau pemerintah. Sejatinya konsep governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan sekedar sebuah struktur atau kelembagaan. Government atau pemerintah hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk governance. Dua actor lainnya adalah sektor swasta (private sector) masyarakat sipil (civil society).
Karena itulah memahami governance berarti memahami bagaimana integrasi peran pemerintah atau birokrasi, sektor swasta dan masyarakat sipil. Governance telah menghapus perbedaan antara `pemerintah` dan yang `diperintah` karena kita semua adalah bagian penting dari governance. UNDP mendefinisikan tata pemerintahan sebagai penggunaan wewenang ekonomi, politik, dan adminisrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana warga menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Singkatnya, governance adalah mekanisme praktek dan tatacara pemerintah dan warga masyarakat mengatur sumber daya dalam menangani masalah-masalah publik.
Dalam perspektif administrasi publik kontemporer, Frederickson menggambarkan ruang lingkup governance yang mencakup: pertama, ia sebagai sebuah jenis organisasi dan institusi yang sangat beragam yang terikat dan terlibat bersama dalam aktivitas publik. Kedua, ia mencakup pluralisme dan hiperpluralisme kontemporer. Ketiga, ia berlatar belakang multi institusi-organisasi dengan kepemimpinan wirausaha kontemporer. Keempat, ia mengisyaratkan adanya arti penting legitimasi, sumbangsih yang positif dan berharga bagi pencapaian tujuan-tujuan publik.
Menurut Dwipayana (2003), governance dipahami sebagai proses interaksi atau jaringan antara negara dengan aktor-aktor sosial di luar pemerintah. Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, malainkan negara adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan besar. Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level, yakni ke atas dengan orgnisasi transnasional, ke samping dengan NGO (Non Government Organization dan swsta, serta ke bawah dengan masyrakat sipil atau lokal. Dengan demikian diharapkan dapat membawa negara `lebih dekat` kepada masyarakat.
Penambahan kata sifat good dalam governance bisa diartikan sebagai sifat pemerintahan yang baik atau positif, yakni terjadi hubungan yang sifatnya siergis dan konstruktif diantara aktor-aktor birokrasi, sektor swasta dan civil society. Hubungan tersebut hanya akan terjadi manakala ada pengerhan maksimal sumber daya dari potensi yang dimiliki dari masing-masing aktor, atas kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai.

No comments: