Thursday, January 8, 2009

Membangun Pemerintahan Siaga Bencana

Membangun Pemerintahan Siaga Bencana
Di tengah hiruk-pikuk polemik RUU Keistimewaan yang menguras energi masyarakat Jogja, ada baiknya kita duduk sebentar dan menoleh ke belakang untuk me-review dan me-refresh kesadaran kolektif Wong Jogja, khususnya para pemangku kekuasaan terhadap tantangan yang tak kalah besarnya di Daerah Istimewa ini; ancaman bencana. Tulisan ini mencoba mengangkat hal tersebut sebagai bentuk apresiasi kecil terhadap International Disaster Risk Reduction Day Rabu minggu kedua bulan Oktober, yang di Indonesia diperingati hingga 20 November mendatang.
Jamak di ketahui, Propinsi DIY dengan segala kelebihannya, memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis yang rawan terhadap ancaman bencana yang dapat menimbulkan korban jiwa, membawa kerugian material yang besar, menghancurkan hasil-hasil pembangunan dan membuat miskin ratusan ribu bahkan jutaan orang dalam sekejap. Masih segar dalam ingatan kita gempa 27 Mei 2006 silam, yang oleh Bappenas ditaksir telah menimbulkan kerugian lebih dari 29 triliun rupiah, belum terhitung kerugian ikutan seperti hilangnya peluang dan mata pencaharian.
Sebesar apapun skalanya, sebenarnya kerugian dan dampak negatif bencana dapat diredam atau dikurangi. Dahulu bencana dipandang sebagai kejadian tak terhindarkan yang berada di luar jangkauan manusia, sehingga penanganan bencana pun lebih dititikberatkan pada upaya tanggap darurat setelah bencana. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bencana lebih dilihat sebagai interaksi antara ancaman bahaya dan kerentanan masyarakat dan kurangnya kapasitas untuk menangkalnya. Penanggulangan bencana saat ini lebih diarahkan pada bagaimana mengelola resiko bencana sehingga dampak bencana dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Ada beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengurangi dampak merugikan dari bencana. Strategi pertama adalah dengan sama sekali menghilangkan atau secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana. Jika tidak dapat dilaksanakan, strategi berikutnya adalah dengan mengurangi besarnya dampak atau keganasan bencana, dengan mengubah karakteristik ancaman, meramalkan atau mendeteksi potensi bencana (sistem peringatan dini), atau mengurangi kerentanan dengan memperbaiki unsur-unsur struktural dan nonstruktural masyarakat.
Bila bencana tidak dapat dihindarkan lagi, maka strategi terakhir adalah mempersiapkan pemerintah dan masyarakat untuk menghindari dan merespon bencana dengan tepat dan efektif sehingga kerugian dapat dikurangi. Strategi terakhir ini mencakup upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dengan secepatnya memulihkan diri setelah terjadi bencana dan membangun kembali sembari menguatkan diri untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di masa depan. Jadi strategi penanggulangan bencana tidak terbatas pada upaya tanggap daurat dan upaya pemulihan pasca bencana saja, tetapi juga meliputi upaya membangun ketangguhan masyarakat untuk menghadapi ancaman bahaya.
Dengan kata lain, penanggulangan bencana merupakan serangkaian kegiatan baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi bencana yang dirancang untuk memberikan kerangka kerja bagi orang-perorangan atau komunitas yang berisiko terkena bencana untuk menghindari, mengendalikan risiko, mengurangi, menanggulangi maupun memulihkan diri dari dampak bencana.
Selama ini penanggulangan bencana di daerah lebih ditekankan pada upaya tanggap darurat. Dalam RAPBD alokasi untuk kegiatan tanggap darurat terdapat dalam pos Dana Tak Tersangka, yakni dana yang hanya dapat digunakan bila telah terjadi bencana dan tidak berdasarkan perencanaan yang memadai, tidak memakai tolak ukur atau standar minimum yang baku. Umumnya program tanggap darurat ini berorientasi jangka pendek, sekedar “kembali normal” tetapi bukan merupakan bagian dari orientasi jangka panjang untuk “membangun kembali yang lebih baik” dan untuk bersiap terhadap segala kemungkjnan ancaman atau bahaya untuk mengurangi resiko bencana di masa depan.
Dalam penyusunan program pembangunan baik tahunan, jangka menengah dan jangka panjang, ancaman/ bahaya yang ada dan pernah terjadi tidak dianalisis dan ditanggapi secara memadai untuk dijadikan salah satu landasan penentu kebijakan pembangunan. Karenanya ketika bencana terjadi, proses pembangunan seperti terhenti bahkan menyurut karena hasil-hasil pembangunan diluluh-lantakkan oleh bencana dalam waktu sekejap maupun secara perlahan-lahan (slow on set disaster).
Banu Subagyo, Programme Coordinator UNDP dalam sebuah loka karya bencana di UGM mengatakan, bahwa setiap US $ 1 anggaran yang digunakan untuk kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan oleh FEMA (BNPBnya Amerika Serikat), telah memberikan kontribusi terhadap pengurangan resiko bencana di negara tersebut sebesar US $ 4 karena tetap amannya hasil-hasil pembangunan, terlindunginya harta kekayaan dan keselamatan warga masyarakat.
Bencana tidak lagi dilihat hanya dari aspek-aspek penyebabnya saja, tetapi lebih dari segi dampaknya, dan manusia harus dapat menyiasati serta hidup berdampingan dengan resiko bencana. Penanggulangan bencana merupakan suatu suatu proses tidak terpisahkan, baik pada saat sebelum bencana, saat bencana, ataupun saat pasca bencana. Pengurangan resiko bencana harus dipadukan dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat termasuk dalam keadaan tidak ada bencana sekalipun. Program pembangunan akan kurang berdayaguna, bahkan akan dapat memicu bencana baru yang merugikan masyarakat, apabila tanpa memasukkan aspek pertimbangan resiko bencana
Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang; telah mendeklarasikan kampanye global pegurangan resiko bencana dengan tema ‘Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana`. Deklarasi tersebut mengisyaratkan suatu kesempatan bagi komunitas internasional untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan dan risiko terhadap bahaya. Konferensi tersebut menekankan perlunya mengidentifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana.
Pemerintah Indonesia pun telah menindaklanjutinya dengan mengesahkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang merupakan payung hukum dan kebijakan sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi resiko bencana dan menciptakan lingkungan kehidupan yang lebih aman dan tanggap terhadap ancaman bencana. Upaya mengurangi resiko bencana merupakan satu dari sembilan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009.
Daerah perlu menjabarkan prioritas nasional ini lebih lanjut dalam rencana pembangunan daerah. Upaya penyusunan Renstrada dan RAD PB merupakan salah satu langkah awal dalam mengintegrasikan aspek-aspek pengurangan resiko bencana yang telah menjadi prioritas nasional ke dalam program pembangunan di Provinsi DIY. Upaya penyusunan Renstrada dan RAD PB merupakan salah satu langkah awal dalam mengintegrasikan aspek-aspek pengurangan resiko bencana yang telah menjadi prioritas nasional ke dalam program pembangunan di Provinsi DIY. Keberadaan Renstrada dan RAD PB akan membantu provinsi DIY dalam mewujudkan komitmen untuk membangun masyarakat yang sejahtera, mandiri, berkualitas dan maju menuju terciptanya sikap perilaku hidup individu yang menekankan keselarasan dan keserasian antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan hidup dan kehidupannya, yang juga adalah visi pembangunan DIY 2020.
Penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat, agar dapat memberikan perlindungan yang optimal, pemerintah daerah perlu memiliki rencana penanggulangan bencana yang terstruktur, sistematis dan dapat dilaksanakan dengan efektif. Rencana Strategis Daerah Penanggulangan Bencana (Renstrada PB) yang disusun Pemerintah Provinsi DIY dalam konsultasi luas dengan unsur-unsur masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya tersebut merupakan bagian dari upaya mengembangkan dan melaksanakan program-program dan strategi yang efektif dan efisien dalam mengurangi resiko bencana. Tujuan akhirnya adalah membangun daya tanggap dan daya tahan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Pelaku penanggulangan bencana bukan hanya pemerintah, melainkan juga masyarakat, lembaga-lembaga non-pemerintah baik yang ada di wilayah setempat maupun dari luar. Semakin disadari bahwa pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya. Karenanya sering terjadi kinerja yang kurang memadai bila dibandingkan dengan besarnya ancaman maupun bencana yang terjadi . Pada sisi lain, masyarakat-bahkan mereka yang manjadi korban bencana juga masih mempunyai sumber daya untuk bisa didayagunakan. Pemerintah sebagai duty berier, juga harus melibatkan pelaku kepentingan lainnya untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana yang berdayaguna.
Di tingkat paling bawah dalam penanggulangan bencana, komunitas merupakan ujung tombak yang disebut sebagai “garis depan bencana (disaster front)”. Karenanya tiap organisasi penanganan bencana harus menyediakan tempat bagi keterlibatan dan partisipasi komunitas. Ini terutama berlaku untuk aspek-aspek tindakan kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan. Bahkan, dalam pembuatan kerangka dan atau menilai keefektifan organisasional, disarankan untuk pertama-tama mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat komunitas dan kemudian menyusun pengaturan pada tingkat yang lebih tinggi sehingga sesuai dengan kebutuhan.
Di tingkat komunitas, bencana dapat diredam secara berarti jika masyarakat mempunyai informasi yang cukup dan didorong pada budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana. Untuk itu diperlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang relevan tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Budaya atau kultur siaga bencana diharapkan akan terwujud apabila tersedia juga aspek fasilitas pendukung dan aspek edukasi bagi masyarakat. Contoh sederhana aspek fasilitas pendukung adalah berupa informasi mengenai zona-zona rentan dan rawan mengalami bencana dalam segala ragamnya. Informasi tersebut harus tersedia cukup akurat dan dapat dijangkau oleh individu warga masyarakat dalam waktu yang tepat atau sebelum kejadian bencana.
Sekiranya kita patut untuk mengintropeksi diri; sudah amankah diri dan keluarga kita? Seberapa besar persepsi, kesadaran dan kesiapsiagaan kita terhadap potensi bencana di lingkungan kita? Dan yang terpenting, sejauh mana para pemangku kepentingan dan pemegang kekuasaan berbuat banyak dalam melindungi warganya? Semoga menjadi masukan berarti bagi kita semua Pecinta Jogja. Wallahu a`lam.

Panji Pranowo
(Pemerhati Kebijakan Publik
Tinggal di Bantul)

No comments: